Secangkir Bintang*

6:16 PM


Sore itu adalah sore yang paling melelahkan bagi kami berempat, mungkin. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu coklat bergurat halus yang kami susun dua berjajar agar muat untuk menampung semua pesanan kami. Sore itu mendung semakin berat mengandung, namun hujan juga tak kunjung lahir dari perutnya yang semakin berat. Juga warnanya yang semakin pekat. Seakan sengaja menahannya, lalu muntah begitu saja saat semua makhluk di bawahnya yang sedang larut dalam buaian bisingnya suara klakson yang lebih mirip suara teriakan derita para manusia ibukota.

Aku duduk di samping Bintang yang hampir selama lima menit matanya masih terpaku menatap menu makanan dari sebuah buku yang dibawakan oleh seorang pelayan berbaju merah. Berdasi kupu-kupu hitam, dengan sepatu pantofel mengkilap hingga memantulkan kerlip lampu yang tergantung tepat di atas kami. Sedangkan, Adi, Audrey, dan Ester memilih menenggelamkan diri mereka dalam tawa semu bersama layar berukuran lima inci yang berpendar. Seakan, menikmati sajian yang digoreng tak begitu matang di dunia maya, lebih bisa memuaskan nafsu lapar mereka dibandingkan dengan menyuapkan sepiring nasi ke dalam kerongkongannya. 

Aku memandang Bintang lekat. Seakan wajahnya adalah sebuah mesin penyedot debu dan aku adalah gumpalan-gumpalan debu yang ringan yang dengan sukarela menyerahkan diri begitu saja masuk ke dalam sela-sela moncongnya. Dia hanya tersenyum simpul, melihat deretan menu-menu yang menjadi andalan dari café ini. Lalu, sesaat kemudian, dua cangkir hot chocolate dengan asap yang menari-nari sudah mampir begitu saja di atas meja kami lengkap beberapa iris kentang goreng berwarna kuning terang bertabur bubuk cabe di atasnya, beberapa milkshake, dan lima piring nasi goreng dengan taburan bawang goreng sedikit agak gosong, tiga irisan mentimun bersusun, dan selada berwarna hijau menyala melengkapinya.

~~~
Aku mengenal Bintang sudah sejak hampir setahun lalu. Itu sejak aku dipindahkan ke dalam tim news researcher bersama tiga orang lainnya. Kala itu, dia yang mengenakan kaos merah, celana jeans berwarna biru langit, dan kalung rosario kecil warna perak menggantung indah di lehernya dan rambut ekor kuda yang diikat dengan pita berwarna hijau tosca. Suaranya lantang dan tawanya cukup keras dengan wajah orientalnya, mata sipit serupa lengkung bulan sabit, kantung mata yang beranak pinak, dan bibir yang terpulas warna merah muda, langsung membuatnya menjadi pusat perhatian dari kami berempat. Itulah kesan pertama yang aku ingat darinya yang selalu kukuh berkata bahwa dia adalah sosok yang pendiam dan pemalu.

Bintang adalah mahasiswa tingkat terakhir di Universitas Indonesia. Jurusan Psikologi yang tengah kesasar di tim ini. Hadirnya dalam tim kami selaksa oase di tengah padang gurun yang terik. Bukan… dia memang bukan satu-satunya perempuan di tim ini, tapi dia adalah satu-satunya orang yang masih bisa bersikap tenang saat beberapa di antara kami saling bersitegang. Satu-satunya orang yang mampu membuat suasana menjadi lebih santai, walau terkadang air mata datang tanpa tercerai.

Pagi itu terlalu sendu untuk bisa dibilang sebagai sebuah hal baik di awal minggu. Mendung dan halilintar yang sedari tadi malam tak kunjung reda berkomplot dengan hujan yang turun perlahan tetapi cukup untuk membuat seorang merasa demam jika nekad menghajarnya tanpa pengaman. Suasana kantor masih cenderung temaram, padahal waktu sudah hampir pukul sembilan. Belum banyak komputer dalam kubikel yang dinyalakan. Sebuah pertanda bahwa penghuninya masih belum menampakkan batang hidungnya. Selain kubikel ku, ternyata komputer di kubikelnya Bintang yang hanya berjarak beberapa kotak seukuran tak lebih panjang dari peti mati itu sudah menyala terang. Berpendar putih, memancar mengisi semua sela yang ada di depannya. Menampakkan siluet wajahnya yang bulat dengan satu jerawat. 


Aku melintasinya menuju ke arah pantry. Sebenarnya ada rute yang lebih cepat daripada melewati kubikel milik Bintang, tinggal keluar dari kubikelku, berjalan ke arah kiri lalu sedikit berbelok ke kanan hingga menemukan lift menghadang. Namun, agaknya bertemu ataupun hanya melihat segurat senyum di wajahnya bisa menghadirkan mentari sendiri bagi hariku yang sudah terlalu kelabu ini.

Aku sampai di depan kubikel nya, melihatnya tertunduk khidmat, dengan tangan yang mengepal menggenggam rosarionya kencang. Dia berdoa. Dan aku menunggu, sembari berpangku tangan. 

Satu hal yang membuatku senang menunggunya adalah menjadi sebuah kebahagiaan sendiri melihatnya menjalani ritual ibadatnya itu. Dan sebuah senyum manis itu, yang aku tunggu sedari tadi, melayang, begitu saja setelah dia selesai membuat tanda salib dari kepala menuju dadanya. 

“Lho mas… Selamat pagi.” Katanya sedikit kaget.

“Pagi Bin... religius banget pagi-pagi gini sudah berdoa.” Yang kemudian hanya dijawabnya dengan senyum malu dengan pipi bersemu merah. 

“Aku mau bikin kopi ke pantry, kamu mau nitip sekalian?”

“Boleh, tapi bukan kopi ya… Aku mau…”

“Teh manis dingin tanpa es kan?” kataku mendahuluinya yang kemudian hanya dibalas dengan tawa kecil yang tak lagi aku hiraukan karena langsung berlalu begitu saja menuju pantry

Begitulah pagiku, pagi kami di kantor, dan itu benar-benar adalah pagi yang terlalu menyenangkan kalau hanya sekadar berujung dengan tulisan. Aku dan dia sepakat menyebutnya sebagai pagi yang sederhana.

Hari-hari kami sebenarnya tidaklah selalu bisa disebut menyenangkan. Selalu disibukkan dengan urusan menyari narasumber, dikecewakan karena terkadang datang tanpa persiapan yang cukup matang, tapi tak ada yang lebih mendebarkan selain makian yang datang menyambut karena, terkadang, pertanyaan yang kami bawa terlalu membuat amarah yang meradang. Tapi perempuan ini, Bintang, selalu datang dengan sinar-sinar yang bisa ia pancarkan sendiri. Namanya benar-benar adalah sebuah perwujudan doa yang dirapal oleh orang tuanya. Dia, seperti yang sudah aku bilang, selalu mampu bersikap tenang. 

Dia bisa selalu datang menghadirkan segenap keriaan dan cerita yang terkadang terlalu luar biasa untuk diceritakan. Lucunya, jika dia sudah mulai bercerita, satu jam pun tak akan pernah cukup untuk menghentikannya. Walaupun sudah 1.825 kali dia bilang bahwa dirinya adalah sosok yang pendiam dan pemalu, tak pernah sedetikpun aku menemukan itu ada padanya.

Aku selalu menyakini bahwa dia adalah sosok teman, kolega, partner menulis yang baik. Hingga perasaan itu datang. Menyeruak begitu saja memporak-porandakan segala benteng pertahanan yang telah rapih disusun bata demi batanya. Ibarat sebuah badai laut yang datang di pagi yang masih buta, menghantam, menghancurkan, melumat segala apa yang ada di depannya tanpa kasih perduli. Itulah perasaan yang sampai aku menuliskan ini pun belum bisa teridentifikasikan namanya.

Perasaan ini muncul beberapa waktu setelah aku mengajaknya untuk berdua saja menonton film di sebuah bioskop di malam minggu yang begitu terang diwakili oleh lampu-lampu gedung perkantoran, suara bising klakson kendaraan, dan sedikit gemerlap bintang yang mudah hilang di antara keriuhan. Setelah langit yang menyuguh jingga habis ditelan malam**, kami sudah sampai di pelataran parkiran kendaraan. Bukan hanya kami yang datang berdua, puluhan orang juga datang ke tempat itu. Ada yang datang dengan bergandeng tangan, ada pula yang hanya memegang satu box popcorn.

Mungkin tak seperti kebanyakan pasangan lain, walaupun kami tak pernah tau apakah kami laik disebut sebagai pasangan tapi percayalah, malam itu ratusan pasang mata, yang menatap kami pasti mengira seperti itu, memilih menonton film drama atau kalau mau sedikit menjadi nakal memilih film horror agar bisa mendapat pelukan pasangan saat merasa ketakutan, kami memilih untuk menonton sebuah film animasi.  Hotel Transylvania 2 adalah film yang kami pilih. Dimainkan di studio 2 bioskop itu, kami duduk di kursi row C bersebelahan. Di luar dugaanku, ternyata di studio itu ternyata dipenuhi oleh banyak penonton. Kebanyakkan dari mereka adalah keluarga yang membawa serta anak-anak mereka usia sekolah dasar bersama.

Film sudah diputar separuh jalan dan sudah entah untuk berapa kali tangan kami berpapasan berkat satu box popcorn yang kami pesan. Gesekannya, walau hanya beberapa mili detik, mampu membangkitkan endorphin dalam otak, yang mau tak mau membuat darah mengalir dengan lebih cepat. Membuat jantung berdegup dengan irama seperti tapak sepatu kuda. Darah yang mengalir begitu cepat di dalam tubuh pasti menyisakan rona merah menyala di wajah kami berdua, seandainya di dalam studio itu lampunya dinyalakan. Dan hanya ada senyum yang sempat aku lihat tertempel di wajah Bintang sesaat sebelum ia kembali mengarahkan segenap pandangannya ke layar.


Di sanalah kami, duduk berdua saling bertatapan sambil menunggu pesanan makanan kami datang. Selepas selesai menonton film itu, Bintang tak henti-hentinya mendendangkan dongeng mengenai analisa yang dia lakukan tentang film itu dari pelbagai sudut pandang psikologi.

“Mas Cah…” katanya mengawali ceritanya, yang pada anehnya walaupun hampir tak satupun dari teori-teori yang ia paparkan dapat aku pahami, aku masih bisa menikmati bagaimana dia bercerita dan merangkai kata-kata. 

Bintang memulai memaparkan sebuah teori tentang perdebatan ahli-ahli psikologi mengenai hidup manusia yang bukan hanya soal turunan dari pada pendahulunya, tetapi bukan juga sepenuhnya bentukan dari lingkungan di mana ia tinggal. Bintang, juga sebagaimana ahli-ahli yang ia rapalkan namanya, percaya bahwa seseorang punya kendali atas dirinya sendiri. 

“Lagi pula kan, Mas,” ia mencoba menambahkan deretan penjelasannya. Beberapa jam yang aku habiskan bersama itu seakan membawaku kembali ke masa-masa kuliah. Mengutip apa yang dijelaskan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers, jelasnya, dalam teori-teori psikologi humanistik, setiap pribadi membutuhkan sebuah ruang dimana ia mampu mengaktualisasikan dirinya secara bebas dan bertanggungjawab dan mendapat penerimaan yang tanpa syarat. “Unconditional positive regards.” Kata Bintang mengakhiri.

Satu hal yang aku akan catat dari beberapa SKS singkat bersama Bintang itu adalah bahwa mau berapa kalipun ia berkata bahwa ia adalah orang yang pendiam dan pemalu, aku tak akan pernah percaya lagi. Sejatinya, aku pun juga sangat terkejut menemukan dirinya yang sangat punya banyak cerita. Mungkin itu adalah cara yang dilakukannya untuk menutupi rasa canggung yang dia rasakan sedari kami bersama. Dan caranya itu adalah sesuatu yang sangat aku suka, karena dia terlihat begitu bahagia. Aku teringat Lana Del Ray pernah berkata, “When you see someone else’s happiness is your happiness, that’s love,” entah kenapa kata-kata itu menggaung begitu kencang di kepalaku, secara tiba-tiba.

Dan itulah awal dari munculnya perasaan itu. Entah bagaimana, atau seperti apa wujudnya, tapi aku merasa bahwa ia tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa. Ia mampu melahirkan berjuta kupu-kupu yang beterbangan dalam perut yang menabrak dindingnya lalu menghasilkan rasa bahagia yang kadang terlalu gila untuk dicari alasannya. 
~~~

Aku hidup bersama perasaan yang tak terkatakan itu sudah hampir setahun. Dan aku merasa nyaman dengan perasaan yang terlewat sederhana itu. Begini. Bob Dylan pernah berujar bahwa hidup tanpa rumah, tanpa tahu kemana arah pulang, itu ibarat sebuah batu yang berjalan menggelinding***. Begitulah aku sebelum bertemu Bintang. 

Bintang membuatku memiliki semua itu. Dia menghadirkan rumah bagiku. Dia menjadi arah kemana aku harus menuju. Dia membuatku tak lagi hanya sekadar batu yang menggelinding. Atau paling tidak, aku adalah batu menggelinding yang tidak lagi sendirian. Karena bersama Bintang, hidupku menjadi terang. Bersama Bintang, aku menjadi punya harapan dan tujuan. Bersama Bintang, aku punya sebuah cinta yang masih malu untuk diungkapkan. Dan memiliki itu semua adalah bagian terindah dari sebuah proses mencintai secara diam-diam. Percayalah. 



Judul didapat setelah mendengarkan Lagu Secangkir Bintang, karya Sinta Ridwan*)
Cuplikan lagu berjudul Puan Kelana, dinyanyikan oleh Silampukau **)
Diambil dari cerpen berjudul Cerita Batu karya Eka Kurniawan dalam Buku Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui  Mimpi ***)
Gambar diambil dari google dengan kata kunci: Secangkir Bintang Karya Arut Syaiful Batan

7 Responds