Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

12:54 PM

Jangan pernah menghancurkan harapan seseorang, 
sebab jangan-jangan hanya itu
 satu-satunya hal penting yang mereka miliki[1].

Aku baru saja kembali ke Jakarta setelah hampir seminggu ‘menyepi’ di Bali. Seperti biasa, bandara tempat kedatanganku ramai sekali, bahkan lebih ramai daripada saat aku ke sini seminggu lalu. 

Di depan ruang tunggu kedatangan, aku melihat banyak wajah-wajah penuh bahagia yang lalu pecah menjadi sumringah ketika mereka melihat orang yang ditunggu datang mendekat.

Di sana, aku melihat sepasang anak perempuan yang berlari kegirangan saat melihat sosok ayahnya muncul di depan ruang tunggu kedatangan itu. Mereka berlari yang lalu disambut dengan sebuah pelukan hangat dari ayah mereka. Satu dari mereka terlihat merajuk dan meminta gendong, sedangkan anak perempuan satu lagi lebih memilih memegang kaki ayahnya erat-erat. Seorang perempuan—yang pasti adalah istrinya—mendekat dan memberikan sebuah ciuman di pipi.

Ada juga seorang perempuan manis berambut panjang yang dibiarkan jatuh begitu saja menyusuri bahunya, sedang menggigiti kuku jarinya, menunggu dengan gelisah. Tentu bukan aku yang ia tunggu. Wajah gelisahnya mendadak berubah cerah. Dari belakangku, orang yang ia tunggu berlari menjemputnya. Dramatik sekali.

Dan masih ada banyak kebahagiaan-kebahagiaan lainnya. Ada seorang bapak-bapak yang aku lihat sedang berdiri dan berharap-harap cemas. Aku tidak bisa menebak siapa yang sedang ditunggunya, sampai ketika seorang pria yang berusia sebaya, berjalan mendekat. Mereka hanya terpaku satu sama lain selama beberapa detik, hingga sebuah tawa yang kencang keluar dari mulut mereka berdua yang tampak pangling satu sama lain.

Di ruang tunggu kedatangan itulah aku belajar—baik dari mereka yang menunggu maupun yang ditunggu—sesuatu penting. Mereka sama-sama mengajariku hal penting untuk diperjuangkan: Harapan.

Aku berjalan melewati mereka. Melewati semua kebahagian yang memenuhi udara. Melewati tawa-tawa yang membahana. Mencoba menyerap semua energi itu. 

Aku akan kembali ke kawananku dengan membawa sebuah harapan baru. 

Baru? Iya, karena setelah malam di mana Bintang melangkah pergi itu, rasanya aku tidak punya sesuatu yang penting lagi. Sebelum malam itu rasanya aku dipenuhi berjuta-juta harapan. Harapan agar aku bisa selalu bersama Bintang sepanjang waktu. Karena jika aku bisa bersama dengannya, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan masa depanku. 

Namun, kenyataannya… yang terjadi malam itu tidaklah sama persis dengan yang ada di ruang tunggu kedatangan. Di mana semua harapan bertumbuh menjadi kenyataaan. Di mana menunggu selalu berbuah dengan temu. Malam itu, satu-satunya hal yang masih aku ingat adalah rasa sesak. Sesak sekali.



Aku menekuni kembali pekerjaan yang sempat aku tinggalkan. Di kubikelku ada beberapa berkas file yang menuntut untuk dibaca satu per satu. Emailku pun selama seminggu selalu penuh dengan kiriman-kiriman tulisan yang harus diselesaikan. 

Aku menyalakan komputer di kubikelku, sembari menunggu semua sistemnya menyala sempurna, aku mengedarkan pandangan ke ruang kecil yang aku buat senyaman mungkin. Di beberapa bagian sekatnya, ada foto-foto kawanan kecil kami saat melakukan liputan di sebuah daerah terpencil di Jawa Barat. Di foto itu, hanya kami berempat, Bintang belum menjadi bagian dari kawanan ini.

Di belakang foto itu ada beberapa foto Bintang yang—yah… bisa kau sebut, aku simpan, tanpa izin. Di sebuah fotonya terlihat dia sedang berada di sebuah ayunan, tersenyum manis, mengenakan kaus merah dan jins biru kesukaannya. 

Aku baru sadara kalau hanya ada satu foto yang isinya lengkap lima orang dari kawanan kami. Itu diambil ketika kami live in di Gunung Kidul—sebuah daerah di selatan Yogyakarta. Aku lupa untuk acara apa. Bintang berdiri tepat di sebelah kananku—aku berdiri di paling ujung—lalu ada Audrey, Ester, lalu Adi. 

Bunyi desing di komputerku membuyarkan lamunan-lamunanku. Aku datang terlalu awal hari itu, ruangan kantor masih lumayan sepi. Selain aku, hanya ada seorang OB yang dengan cekatan pergi ke pantry lalu membawakanku segelas teh hangat.

Audrey datang kemudian, wajahnya sumringah ketika menemukanku di dalam kubikel. Aku membalas tatapannya dengan sebuah senyuman dan anggukan kecil yang seakan mengisyaratkan iya-aku-sudah-kembali-dan-aku-baik-baik-saja.  

Ester dan Adi—secara mengejutkan—datang bersamaan. Bergandengan tangan. Aku bisa melihatnya sekilas begitu mereka keluar dari lift karena pintu masuk kubikelku mengarah ke sana. Aku kembali melemparkan sebuah senyuman yang seakan berkata akhirnya-kalian-pacaran-juga. Namun, mereka buru-buru melepas pegangan tangannya begitu melihatku. 

Ester berlari lalu memelukku, Adi menyusulnya dari belakang. Tapi aku menolak ketika ia menunjukkan gelagat akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Ester.

I miss you.” Kata Ester sambil mengacak-acak rambutku. Sebagai kawanan, kami memang begitu sangat dekat. Bukan hanya aku dan Ester, tapi juga dengan Audrey, Audrey dan Adi, aku dan Adi, Audrey dan Ester, Ester dan Adi. Juga Bintang. Kami benar-benar layaknya sebuah keluarga yang disatukan dengan ikatan cinta. Keluarga yang kami temukan dalam perjalanan kami. Begitulah aku menggambarkan kedekatan kami.

“Aku hanya pergi seminggu” Jawabku.

It feels like a years..” jawabnya cepat. 

Jarum jam bergerak perlahan, masing-masing dari kami kembali ke kubikel kami. Hanya Audrey yang duduk di sofa yang acap kali kami gunakan sebagai ruang keluarga. Sudah hampir pukul delapan saat aku dengar deting suara lift berbunyi, begitu pintunya terbuka, sosok yang aku tunggu pun keluar.

Wajahnya serius dan terburu-buru. Dia membawa tas punggung warna biru langit yang senada dengan celana jins nya. Hari itu dia memakai sepatu merk crocs, dengan beberapa tumpuk buku dipelukkannya. Matanya langsung menemukan Audrey yang memang sudah menantinya. Dengan setengah berlari, Bintang menghampiri Audrey. 

Bintang melewati kubikelku tanpa menyadari bahwa aku sudah kembali dari liburanku di Bali.

“Pagi, Bin, “ sapaku saat dia berada di depan kubikelku. 

Bintang terkejut. Jelas terlihat dari ekspresi wajahnya dan dia tak berusaha menyembunyikannya. Yang dia lakukan selanjutnya hanya menunduk dan berjalan ke arah Audrey.

Itu perjumpaan pertamaku dengan Bintang setelah malam itu. 



Hari-hari berikutnya pun masih berlangsung sama. Aku datang paling awal, lalu disusul yang lain secara bergantian walau urutannya tidak selalu sama. Aku juga selalu mencoba untuk menyapa Bintang tapi jangankan sebuah sapaan balik yang aku dapatkan, Bintang malah lebih suka menundukkan kepalanya dan berjalan begitu cepat menuju Audrey.



Rasa sesak itu memang masih ada. Bahkan Bali pun nyata-nyatanya tidak bisa menyembuhkan. Aku hanya akan buang-buang energiku jika aku menuruti perasaanku saja. Dan aku tidak pernah menginginkan bahwa setelah malam itu, hubungan kami menjadi renggang. Pasti kamu tahu rasanya kan? Kamu juga tahu resikonya, jatuh cinta dengan orang yang… bisa kamu sebut sebagai sahabat terbaikmu sendiri.

Aku tahu bahwa patah hati itu memang rasanya sangat tidak enak. Bali menjadi saksi ketidakenakan yang aku rasakan selama hampir seminggu penuh. Namun, aku tidak ingin berada di titik itu terus. Aku ingin kembali bisa minum coklat panas kesukaanku, aku ingin kembali makan risol sebagaimana risol yang aku makan bersama Bintang di sebuah malam dengan air yang mengucur tak kunjung usai itu. 

Aku masih ingin bisa menulis dengan hati tenang. Aku masih ingin menikmati perjalanan yang aku lakukan. Itulah kenapa aku berusaha untuk benar-benar bersikap biasa di depan Bintang.

Namun, Bintang rasanya masih kecewa. Aku tidak tahu apa yang membuatnya demikian. Apakah kecewa karena aku yang menaruh hati padanya di tengah-tengah keakraban kami sebagai partner kerja? Atau hal lain… 

Aku benar-benar tidak tahu. 

Bintang benar-benar menjadi seorang yang pendiam dan pemalu. Hal itu ia tunjukkan ketika kami sedang ada pertemuan rutin. Kami duduk di ruang keluarga—yang aslinya hanya beberapa sofa dengan bertumpuk-tumpuk kertas di atas meja. Di saat kami saling mengutarakan pendapat kami, dia hanya diam dan menunduk. Dia menjadi seakan bisu ketika aku beredar di dekatnya. Bintang juga berusaha agar tidak terjadi kontak mata antara dia dan aku.

Pada titik itu lah, aku benar-benar merasa bahwa Bintang sedang berusaha untuk menghindar. 



Aku sudah lebih dari dua tahun mengenal Bintang. Aku tahu bahwa dia adalah tipe orang yang sangat baik mengolah emosinya. Dia baik. Sebagaimana perempuan cantik pada umumnya. 

Bahkan ketika dia harus mengakhiri cerita yang ia jalin dengan seseorang pun, dia tidak pernah terlihat menaruh rasa benci kepadanya. Hal yang sangat kontras dengan apa yang ia tunjukkan kepadaku, akhir-akhir ini.

Aku tidak mengerti mengapa Bintang harus menunjukkan sikap seperti itu. Apakah mengetahui bahwa aku mencintainya—begitu sangat—membuatnya kecewa sehingga apa yang ia lihat dariku tak lebih dari sebuah luka? 

Bukankah akan lebih bijaksana kalau tetap saling menyapa dan tak saling diam, seperti ini. Toh, Bintang bukan satu-satunya orang yang pernah membuatku terluka. Bahkan aku pernah lebih sakit daripada ini. Sakit yang membuatku mengubah semua cara pandangku terhadap banyak hal.

Namun, mari kita jujur. Emosi manusia memang hal yang sangat komplek dan rumit untuk bisa dijelaskan. 

Kalau kamu bertanya kepadaku sekarang seperti apa Bintang itu? Aku pun tidak tahu jawabannya.

Aku bukan sedang berada di tahap di mana aku menjadi benci dengan orang yang mematahkan hatiku sehingga yang bisa aku lihat hanya hal negatif yang ada pada dirinya. Bukan. Aku hanya merasa bahwa aku tidak mengenal Bintang yang sekarang.

Aku suka Bintang yang dulu. Aku suka ketika dia melengkungkan bibir manisnya membentuk sebuah senyum manis di pagi saat kami saling bertemu. Aku suka rambutnya yang selalu ia kuncir seperti ekor kuda. Aku suka melihat lututnya yang terlihat dari sobekan celana jins belelnya. Aku suka caranya menggigiti bibir bawahnya saat dia sedang memikirkan sebuah ide untuk hasil tulisan kami. 

Aku suka saat aku menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya saat kami sedang meneduh bersama. Aku suka saat mengusap coklat isi risol yang meleleh melewati bibir manisnya. 

Aku suka melihat ia begitu riang saat kami ke pameran buku. Aku suka melihat dia berusaha begitu kuat membulatkan bola matanya yang hanya segaris itu saat dia menemukan buku yang sudah lama aku inginkan: Kereta Tidur.

Aku suka saat ia mendengungkan lagu jazz saat aku bawa dia untuk menonton sebuah acara jazz mingguan yang katanya baru sekali itu ia tonton.

Aku suka suara ketawanya. Renyah. Aku suka ketika....  ketika dia bilang Gusti Yesus di sela-sela tawanya itu. Aku suka bagaimana wajahnya saat tidur ketika kami—sekawanan—menginap untuk liputan di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. 

Aku suka Bintang yang seperti itu.

Namun sekarang, aku bahkan benar-benar tidak tahu siapa dia.

Picture From @Iname
Kini, semua hal yang aku sempat lihat di ruang tunggu kedatangan itu, semua kebahagiaan itu, semua harapan yang coba aku bawa kembali ke dalam kantor rasanya benar-benar tak tepat waktu. 

Aku tak menemukan alasan kenapa aku terus saja bersikap biasa kepada Bintang saat dia merasa semuanya tidak seperti biasa. Aku tak menemukan alasan kenapa aku masih saja terus berharap kepadanya. Pun, aku juga tak menemukan alasan kenapa dia berlaku demikian.

Aku hanya merasa bahwa Bintang seakan sudah pergi jauh, bahkan sebelum kami bertemu.



[1] Dikutip dari buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu karya Puthut EA, halaman 96.
* judul diambil dari buku yang sama.

0 Responds