Mei

4:34 PM






Perempuan yang sedang merayakan ulang tahun itu namanya Bintang. Hari ini 11 Mei, di mana Bintang menggenapkan angka di usianya yang sudah tidak bisa lagi dibilang remaja. Dia, Si Bintang,  selalu terlihat bergairah ketika tahu bahwa hari lahirnya bersamaan dengan hari lahir seorang sastrawan yang kemudian menjadi idolanya.
***

Itu, satu tahun lalu ketika Bintang kali pertama membaca sebuah puisi karya sastrawan idolanya dengan suara nyaring diiringi beberapa nafas berat karena gugup. Itu adalah hari di mana kami bertemu dengan sastrawan itu secara langsung di sebuah acara peluncuran sehimpun puisi pilihan karyanya.

Di sesi akhir acara itu, Si Pembawa Acara menantang semua yang hadir untuk mau membaca satu atau dua puisi karya sastrawan itu. Bergantian. Aku tahu Bintang ingin ikut membaca juga. Namun aku juga tahu bahwa dia adalah seorang yang pemalu. Dan aku tahu bahwa kadang rasa isengku suka kelewatan, yang entah seperti apa, aku akhirnya bisa membuat Bintang dipilih pembawa acara untuk ikut membaca salah satu puisi dari sastrawan itu.

***

Kantor kami terdiri dari dua lantai – terletak di lantai 6 dan 7— yang berlokasi di sebuah gedung perkantoran di Jakarta Selatan. Di dalamnya ada banyak kubikel tempat banyak di antara kami dengan tenang dan senyap mencumbui setiap perkerjaan kami. Itu di lantai 6. Di lantai ini juga terdapat sebuah pantry ala kadarnya.

Kami – aku, Bintang, Audrey, Adi, dan Ester—lebih banyak menghabiskan waktu di lantai atasnya. Di sana tidak terlalu banyak kubikel, terhitung selain yang aku miliki, ada tidak sampai dari lima kubikel yang salah satu di antaranya sering dipakai Adi. Di lantai ini juga ada ruang khusus untuk pemimpin redaksi kami. Letaknya di ujung yang berhadapan dengan lift.  Ada sebuah, kami menyebutnya, ruang keluarga yang cukup luas di lantai ini, yang sering kami jadikan tempat untuk berbagi. Tentang apa saja. Kami menciptakan sebuah keterikatan di sana, menyulamnya secara bergantian antara sedih juga tawa.

Hari ini, di ruang keluarga ini, seorang anggotanya genap berusia duapuluh empat. Kebahagiaan sedang melimpah ruah pada dirinya. Setelah masa magangnya selesai, oleh pemimpin redaksi, dia ditawari sebuah kontrak kerja sama dengan kami dengan durasi yang lebih lama. Sebelumnya, gadis bermata sipit dengan jidat sedikit jenong dan suara tawa renyah ini juga bisa menggapai gelar sarjananya.

***

Bintang maju perlahan-lahan. Wajahnya sedikit memerah dan tanganya terlihat gemetar. Matanya kadang masih memberikan ancaman lewat lirikkannya ke arah ku. Yang hanya aku jawab dengan acungan jempol ku sembari tersenyum dan menyipitkan mata.

Kami hanya berdua waktu itu dan awalnya tak ada keinginan untuk ikut acara launching ini. Kami ingin memberi jeda pada kehidupan agar kami tidak terjerembab pada rutinitas pekerjaannya semata. Dan, toko buku, adalah tempat –selain pusat perbelanjaan—yang cocok untuk sejenak melepas penat.

Di sana  kami menemukan sebuah pamflet yang memberikan informasi acara peluncuran sepilin puisi pilihan karya sastrawan itu. Sekejap kemudian, Bintang sudah ada berdiri di depan para pengunjung toko buku yang menyempatkan mampir ke acara itu. Di depannya, selang beberapa baris orang, sastrawan idolanya duduk sambil sesekali menyecap kopi hitam dari cangkir putih di depannya.

Sastrawan itu sudah tua. Rambutnya mulai tumbuh putih menggantikan warna hitam aslinya. Di beberapa bagian masih terlihat warna gradasi perubahan itu di antara helai rambut yang disisir rapih itu. Bajunya kotak-kotak biru dengan celana jeans panjang sama seperti yang dipakai Bintang.
Sastrawan itu duduk tenang. Sabar dia menyecapi kopinya sedikit demi sedikit sembari mendengarkan para pengunjung bergantian membacakan puisi-puisinya dengan gaya yang berbeda-beda tapi tak pernah mengurangi makna. Dan kini giliran Bintang.

Bintang membuka lembar demi lembar buku yang dia comot sebelum acara ini dimulai. Sebelum dia ada di posisinya, dia berlari ke arah kasir dan dengan segera membayar buku yang dia comot seketika itu. Aku bahkan butuh waktu beberapa detik untuk menyadari yang sedang dia lakukan.

Aku tidak tahu di halaman berapa dia berhenti membolak-balikkan halaman buku itu. Yang aku tahu pasti, Bintang telah menemukan puisinya. Puisi yang akan dia baca di samping sastrawan idolanya itu. Dengan sebuah hembusan nafas mantap, Bintang mulai melafalkan puisi berjudul Kamus Kecil.

***

Bahagia adalah sesuatu yang bisa melipatgandakan dirinya jika dibagikan. Hal ini lah yang Bintang yakini dan dengan keyakinan yang kuat itulah dia membuat pemimpin redaksi kami mengizinkan perayaan ulang tahunnya diadakan di kantor.

Dia ingin semua orang di kantor menikmati kebahagiaan yang dia rasakan. Seisi kantor diajak untuk menikmati setiap kepingan kebahagiaan itu, tanpa terkecuali.

Di sana lah dia, sedang berusaha meniup lilin di kue yang dipegang Audrey. Adi dan beberapa orang lain saling bergantian bermain dengan conveti, menambah meriah pesta kecil itu. Lagu Tiup Lilin semarak berkumandang dinyanyikan dengan nada ala kadarnya oleh teman-teman lain yang mengerubunginya. Aku kini tahu Bintang bahagia di tempatnya yang sekarang. Wajahnya buncah, senyumnya merekah, tawa pecahnya juga tak kunjung sudah.

“Selamat ulang tahun ya, Mei,” kata seorang yang entah siapa. Mei. Begitulah dia, Si Perempuan bermata segaris itu sering disapa. Aku tahu dia tidak terlalu menyukai nama panggilan itu. Walaupun, dia memang memiliki darah keturunan itu. Dia selalu bersikukuh ingin dipanggil dengan nama panggilan lain. Sebuah nama panggilan yang menunjukkan bahwa ia lahir di tanah Jawa. Bukan yang lain.

Tentang nama panggilan ini, sebenarnya pada satu malam dia pernah bercerita kepadaku. Bercerita tentang ketidaksukaannya dan kemampuannya untuk tidak merespon apa-apa selain memberikan senyum. Dan, pemalu adalah kata yang sering dia gunakan untuk menutupi kesungkanannya itu.

Aku bukannya tanpa upaya soal itu. Aku pernah berkata kepada Bintang untuk tidak menjadi sungkan, apalagi dia kini sedang berada di kota di mana semua orang saling memakan. Kota yang sungguh sangat kejam, bagi orang yang sangat baik seperti dia. Bintang hanya mengangguk pelan tanpa pernah aku tahu maksud sebenarnya.

***

Aku menghitung kurang lebih ada tiga menit waktu yang dihabiskan Bintang untuk membaca puisi Kamus Kecil miliki sastrawan yang dengan khidmat mendengarkannya membaca sedari awal tadi.

Bintang menutup buku berwarna biru itu diiringi dengan beberapa sahutan tepuk tangan dari pengunjung lainnya. Juga dari Sang Sastrawan itu sendiri. Sastrawan itu juga sempat memuji dan mungkin juga mendoakan agar Bintang benar-benar menjadi orang yang tahan banting, seperti petikan dalam puisi kamus kecil itu. ...bintang yang tahan banting…

Rona merah terlihat sekali di wajahnya ayunya. Terselip di antara putihnya kulit pipi kanan dan kirinya. Senyum-senyum kecil juga tak lekas hilang darinya. Dia berjalan cepat-cepat kembali ke sebelah kananku, tempatnya dia berdiri sebelumnya.

Wajahnya masih malu-malu untuk dimunculkan. Tingginya yang tidak lebih dari hidungku membuatnya dengan mudah menyembunyikan rona wajahnya di balik pundakku. Lentik jemarinya kadang menyelip di antara jemariku membuat seisi hatiku menjadi begitu semarak. Hembusan hangat nafasnya begitu terasa seakan mampu mengisi semua sudut di paru-paruku. Rasanya sudah terlalu lama aku tak merasakan hal sebahagia ini.

Rasanya aku benar-benar jatuh cinta padanya.

Aku masih bisa melihatnya mengulum senyuman saat Si Sastrawan menawarinya untuk berfoto bersama dan membubuhkan sebentuk ucapan selamat di bagian depan buku puisi yang ada di tangan Bintang. Aku di sana, menjadi saksi kebahagiaan Bintang, mengabadikannya dalam sebentuk gambar dia yang sedang melet bersama Sastrawan penyuka kopi itu dan dengan sekejap mengirimkannya ke dunia maya. Dunia tempat hampir dari kita semua memamerkan apapun yang terjadi pada diri kita.

Matahari senja telah sepenuhnya tergantikan langit petang saat kami meninggalkan toko buku itu. Langit di atas sana mulai menawarkan gugus-gugus awan gelap dan pekat. Angin dingin mulai berhembus pelan bersamaan dengan rintik hujan yang turun menghadang.

***

Pesta dimulai selepas siang hari. Namun, kesibukkan telah nampak sedari pagi. Untuk kali pertamanya semenjak aku kerja di sini, hari itu aku bukan karyawan pertama yang datang. Pagi itu, Adi sudah ada di sana membereskan beberapa bagian ruang keluarga agar bisa dipakai untuk merayakan ulang tahun Bintang. Audrey dan Ester bersama seorang office boy mondar-mandir menyiapkan beberapa tempat makanan dan minuman beserta isinya. Kami saling melempar ucapan selamat pagi.

“Bantuin bikin dekor.” Kata Adi sembari melempar sebuah double tape ke arahku.

Pukul delapan lewat dua menit Bintang datang membawa beberapa bungkusan makanan dan minuman. Bintang datang dengan keterkejutannya sendiri ketika melihat semua hal sudah hampir siap. Pesta yang kami rancang memang bukan sebuah kejutan untuknya, tetapi lebih mengarah ke sebuah perayaan. Bintang berlari kecil bergantian memeluk Ester dan Audrey serta tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Lalu beralih menyalami Adi yang juga mendapat pelukannya.

Aku baru saja turun dari sebuah tangga setelah selesai memasang sebuah hiasan di salah satu sudut dinding ketika aku melihat kejadian itu semua. Mataku dan Bintang saling beradu pandang, dan hanya sebuah anggukan yang aku dapatkan.

Bahkan sebuah sapaan pun tak aku dapatkan dari Bintang. Mungkin sisa dari kejadian malam hari di Jogja itu masih membuatnya merasakan luka. Entah luka yang seperti apa.

***

Semuanya berkumpul. Semua bahagia. Selepas Bintang memotong kue pertamanya dan memberikannya kepada Audrey, kado-kado silih berdatangan ke arahnya. Adi dan Ester berbagi kado yang sama, karena aku tahu Adi pasti sedang punya masalah dengan keuangannya setelah beberapa hari lalu dia memintaku untuk menukar jam tangan kesayangannya dengan beberapa lembar uang.

Musik mengalun lembut bergantian dengan suara renyah tawa semua orang yang menikmati hari yang bahagia itu. Mereka berjalan mondar-mandir bergantian mengisi perut mereka dengan berbagai makanan yang disediakan. Gelas-gelas kosong pun kembali penuh dengan minuman soda beraneka warna.

Aku berdiri di sudut bersebelahan dengan Bintang yang masih dikerubungi oleh orang-orang. Tepatnya di samping lift. Berdiri sambil menyilangkan kaki dan menyandarkan diri ke tembok, mencoba menikmati segelas cola dingin. Aku hanya mengganguk dan tersenyum sembari mengangkat gelas yang aku pegang ketika bergantian baik Adi maupun teman lain mengajakku untuk melipat jarak dan mendekat.

Aku sepenuhnya mengerti bahwa tidak ada yang baik dari saling diam atau pun mendiamkan. Tetapi memang, setelah malam itu, Bintang terasa begitu jauh. Jauh sekali.

***

Aku melajukan motorku sedikit melebihi kecepatan yang biasa aku akrabi. Namun, nyatanya tetap tak terkejar, hujan secara membabi buta turun memporak-porandakan semua yang di bawahnya. Tanpa harus meminta persetujuan Bintang, aku membelokkan motorku ke arah kost ku yang hanya kurang setikungan saat hujan mulai menyerang.

Gambar dari @yaoyaomva

Kami tiba di pelataran kost dalam kondisi setengah basah. Bintang dengan begitu senang menerima tawaranku untuk sejenak menepi sembari menikmati secangkir kopi. Lucunya, ketika kopi itu tersaji manis di depannya, Bintang sama sekali tidak menyecap kopinya. Dia hanya menghirup wangi kopi itu dan memilih minum air putih.

“Kenapa kamu enggak bilang kalau enggak suka kopi?”, tanyaku kemudian.

“Bukan enggak suka mas.. Cuma aku memang enggak terlalu bisa minum kopi sih. Tapi aku suka banget sama bau kopi. Enak” Jawabnya sembari menarik kedua ujung bibirnya ke samping. Membuat wajahnya menjadi semakin lucu dan matanya semakin tenggelam.

***

Pesta mulai menunjukkan akhirnya saat gelas-gelas kosong tetap dibiarkan kosong. Beberapa mangkuk makanan pun sudah kehilangan penghuninya. Satu dua orang mulai saling berpamitan dan tak jarang peluk cium masih mampir ke diri Bintang.

Tak sampai sejam kemudian, semuanya sudah kembali seperti semua. Ruangan kembali sepi, karyawan lain sudah pergi, sofa-sofa di ruang keluarga sudah terpasang rapih kembali. Di sana ada Audrey, Ester, Bintang, dan Adi yang masih saling bertukar cerita sembari membuka satu per satu kado yang Bintang terima.

Aku kembali ke peraduanku. Kembali ke kubikelku duduk menghadap layar monitor yang hitam dan hanya memantulkan wajahku yang terlihat muram. Ada sebuah bingkasan kado di laci meja di mana layar monitor itu tegap berdiri. Kado untuk Bintang.

Sebuah kado yang aku bungkus dengan kertas kado berwana batik coklat. Malam sebelum hari ulang tahun Bintang aku membuka YouTube dengan niatan khusus belajar bagaimana cara membungkus kado. Dengan baik.

Namun, hingga hari menjelang sore, kado itu masih tersimpan rapih di laci meja. Aku belum berani menyerahkan kado itu langsung kepada Bintang yang masih sibuk dengan kado-kado lain di depannya. Atau mungkin aku hanya merasa iri, karena kado dariku barang kali tidak ada bandingannya jika dibandingkan semua kado yang sedang Bintang cumbui.

Aku melepas kacamataku, mengusapkan kedua telapak tanganku ke wajahku. Sebuah upaya nihil untuk bisa menenangkan gemuruh yang ada di otakku.

Di tengah pesta tadi, Adi sempat menyeretku yang hanya diam saja di dekat lift ke arah toilet, sedikit menjauh dari riuh-rendah suara nyanyian dengan nada ala kadarnya itu. Di toilet, secara mendadak Adi melontarkan kemarahannya kepadaku. Dia mencengkeram leher bajuku dan mendorongku ke arah tembok. Matanya memancarkan sebentuk rasa marah – mungkin juga jengah.

Sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku dia berkata,”Gue gak peduli sama apa yang terjadi antara lu sama Bintang. Lu pernah bilang ke gue, Ester, juga Audrey. Lu bersumpah di depan kami bahwa dengan rasa yang begitu besar yang Lu punya terhadap Bintang, Lu enggak takut hal buruk akan terjadi antara kalian berdua.”

Masih dengan nada marahnya Adi berkata, “Lu juga janji sama kami. Bahwa apa pun… “ Dia tercekat. “Apa pun yang terjadi antara Lu sama Bintang, ikatan kita semua sebagai sebuah keluarga di sini tidak akan pernah putus. Dan gue sekarang hanya mau mastiin bahwa Lu masih pegang janji itu.”

Aku kenal Adi jauh sebelum aku mengenal Bintang. Aku tidak pernah menjumpai dia sebegitu marahnya kepada apa pun. Hal ini lah yang seakan menambah beban ku sendiri. Sedari pesta selesai tadi, ujung mata Adi rasanya tidak pernah lepas membuntuti ku.

***

Hujan malam itu tidak mau berkesudahan. Kalau ada hal yang bisa menghangatkan malam saat itu adalah ketika Bintang menerima tawaranku untuk menginap semalam di kost ku.

Aku tinggal mengontrak di sebuah rumah kecil yang memiliki dua kamar tidur. Satu kamar baru saja ditinggal pergi oleh kakak perempuanku ke Singapura, untuk melanjutkan studinya. Dan, kini kamar itu yang dipakai Bintang.

Masih ada beberapa potong baju bersih yang ditinggal oleh kakakku. Aku menawari Bintang untuk mengganti pakaiannya dan berjanji dengan setulus hati bahwa aku tidak akan melakukan hal tak senonoh kepadanya. Bintang menerima tawaran itu dan mengganti bajunya yang sempat basah oleh hujan dengan kaos milik kakakku yang kebetulan memiliki ukuran yang tidak terlalu berbeda.

Aku menghangatkan beberapa makanan kaleng untuk kami nikmati berdua sembari menonton sebuah drama serial di salah satu kanal yang internet suguhkan.

Bintang malam itu sangat suka sekali bercerita. Rasanya daya baterai di dirinya tidak ada habisnya malam itu. Hingga akhirnya ia terlelap dalam sebuah mimpi indah di kursi sofa di depan tivi.

***

Aku membuka laci meja, mengeluarkan kado itu dari dalamnya. Sebuah kertas origami yang ada di atas meja pun aku sahut dan aku lipat-lipat menjadikannya sebuah kupu-kupu berwana biru muda. Warna kesukaan Bintang.

Matahari mulai turun perlahan, sinarnya mulai redup digantikan malam. Suara klakson masih nyaring saling bersahutan. Lampu-lampu jalanan mulai menyala menambah semarak kota yang kejam ini.

Adi dan Ester akhirnya berpamitan. Mereka rasanya tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di kantor. Apalagi hari itu adalah akhir pekan.

Di ruang keluarga hanya tersisa Audrey dan Bintang. Mereka sedang berbagi tugas untuk membersihkan sisa-sisa bungkus kado yang Bintang buka. Isinya? Bermacam-macam boneka beraneka warna dan rupa. Sebuah figura berisikan foto karikatur Bintang dengan kepala sedikit tidak proporsional sedang tersenyum manis memegang sebuah pialang. Di bawahnya ada tulisan Selamat Ulang Tahun ke-24, Bintang.

Aku keluar dari kubikelku. Melawan semua gemuruh yang berkecamuk di hati juga pikiranku. Kado berbentuk bersegi panjang berbungkus kertas kado batik berwarna coklat itu aku genggam. Pelan aku berjalan ke arah ruang keluarga.

Audrey yang kali pertama menangkap kedatanganku dengan sebuah senyuman. Sesaat kemudian dia minta waktu untuk sejenak pergi membersihkan diri, membiarkan aku duduk berdua bersama Bintang.

Bintang yang sedari tadi sibuk dengan sisa-sisa kado itu lalu terduduk diam. Untuk beberapa lama kami hanya saling menunduk. Beradu dengan isi kepala kami masing-masing. Hanya sesekali saja ujung mata kami saling beradu sebelum kembali menunduk. Moment itu rasanya yang membuat aku begitu jauh dengan Bintang yang selama ini aku kenal. Rasanya, dua tahun keberadaan dia di orbitku tidak pernah menentukan dalamnya tingkat pengetahuanku akan diri Bintang yang sejati.

Detik jam terdengar saling beradu cepat dengan dentum jantungku sebelum aku berucap, “Bintang…” kataku setelah beberapa saat. Aku menunggu reaksinya. Bintang hanya menatapku dengan mata sendunya.

“Maaf ya.. aku terkesan asing bagimu beberapa waktu ini. Bahkan hari ini, di hari spesialmu. Aku juga minta maaf karena rasanya kadoku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan semua yang sudah kamu dapatkan.”

Aku memberi jeda. Berharap Bintang akan memberikan respon selain hanya diam, menunduk, dan menggaruk-garuk lututnya yang tentu aku yakin tidak gatal itu.

Aku menyerahkan bungkusan berwarna coklat itu kepadanya dan sebuah kupu-kupu kertas berwarna biru muda. Warna kesukaannya. “Kamu boleh membukanya sekarang, kalau kamu mau.” Kataku.

Bintang menelusuri bungkusan itu dengan ujung jari lentik yang ujung jemarinya diwarnai merah muda yang mulai pudar. Dengan sekali tarikkan melepas selotip yang menahan lipatan bungkusnya, Bintang membukanya tanpa berusaha merusak bungkusan itu.

Dikeluarkannya sebuah kotak berbentuk persegi panjang lalu membukanya. Dia tersenyum menemukan hadiah di dalamnya. Hadiah berupa buku sehimpun puisi pilihan dari sastrawan idolanya yang hari ulang tahunnya sama dengan hari ulang tahun Bintang.

Buku itu adalah buku milik Bintang yang setahun lalu tertinggal di kost ku waktu Bintang tak sengaja terlelap dalam mimpi indah di sofa di depan televisi.

Bintang masih mencoba menahan senyumnya ketika membuka halaman di mana sastrawan itu membubuhkan tanda tangannya. Di halaman 11, halaman yang sama dengan hari ulang tahunnya, aku menyematkan sebuah foto saat aku, Bintang, dan Sang Sastrawan berfoto bersama.

Bintang menarik nafasnya dengan sedikit kasar lalu meletakkan telapak tangan kanannya di depan bibirnya. Entah apa yang dia coba tutupi. Apakah tawa yang tercekat atau ingatan tentang hari-hari indah yang pernah ada.


Aku tak pernah tahu akan hal itu….






Lagu pembuka: Jalan Pulang - Mei. Yang merupakan bagian dari 
album berjudul Variasi Pada Tema Pulang

0 Responds