Film Posesif: When You Are Asked Too Much

11:15 PM


#FilmPosesif

26 Oktober 2017 adalah tanggal yang menandai Film Posesif ini muncul di bioskop dan pada tanggal yang sama aku masih disibukkan dengan pertanyaan, “Mau nonton sama siapa?”

Film yang dibintangi Adipati Dolken, yang memiliki ketampanan 11-12 dengan saya, dan Putri Marino menceritakan kisah cinta zaman SMA. Klasik. Namun, dengan premis yang cukup sederhana ini, #FilmPosesif ternyata malah mampu menyedot banyak animo penontonnya.

Tak kurang banyak orang-orang yang ada di linimasa Twitterku mulai ramai membicarakannya. Ada yang bercerita tentang bagaimana perasaannya diaduk-aduk saat menonton #FilmPosesif ini. Ada pula yang berkomentar bahwa film ini adalah film yang pada akhirnya bisa membuatnya menitikkan air mata.

Respon yang cukup beragam ini lah yang membuat film yang ditulis Gina. S. Noer dan disutradarai Edwin, yang aku kenal dari film Babi Buta yang Ingin Terbang, mendapatkan 10 nominasi Piala Citra FFI 2017. Angka yang luar biasa banyaknya.

Namun, apakah jumlah nominasi ini sejalan dengan kekerenan cerita film produksi Palari dengan durasi 102 menit ini? 

Sebelumnya, karena ini  murni adalah coretan pribadi jadi kredibiltasnya pun jangan terlalu dipercayai.

#FilmPosesif ini bercerita tentang Yudis (Adipati Dolken) dan Lala (Putri Marino), yang ayu nya itu lho, sepasang pasangan yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta mereka adalah cinta klasik zaman SMA, di mana ada gadis popular jatuh cinta dengan siswa baru yang juga popular karena, kalau tidak tabrakan waktu jatuh di lorong sekolah ya ketemu di kantin.

Dalam kasus Lala dan Yudis, mereka jatuh cinta dari kolong meja. Kok bisa? Mungkin itu adalah cara Gina dalam meredefinisikan ‘cara jatuh cinta kali pertama’. Pertemuan pertama, dihukum di lapangan bersama, lalu pacaran. Sesederhana itu lho orang bisa pacaran.

Awalnya aku pikir bahwa memang ini durasi filmnya yang pendek atau bagaimana. Karena bagiku, proses dari tatap mata sampai menyatakan cinta ini terlalu cepat. Bahkan dalam ukuran film. Atau mungkin, aku sudah terlalu lama meninggalkan bangku SMA yang membuat diriku tak lagi mengenal gaya pacaran anak sekarang. Tapi okelah, mungkin scene selanjutnya tak terlalu lebih makdrandang dibanding ini pikirku kemudian.

Yudis dalam cerita ini dicitrakan sebagai anak seorang yang kaya raya. Dia tinggal hanya bersama ibunya yang diperankan oleh Cut Mini. Sedangkan Lala, lengkapnya Lala Anindhita, adalah seorang atlit loncat indah yang baru saja merebut medali perunggu di PON mewakili DKI Jakarta. Lala juga hanya tinggal bersama ayahnya yang diperankan oleh Yayu Unru.

Sekilas, premis ini mengingatkan pada film luar negeri berjudul 50 Shades of Grey. Dan, mengingat judul film ini, rasanya kok ada kemiripan tersendiri.

Singkat kata, Yudis dan Lala lalu berpacaran. Namun, karena kesibukan Lala yang akan menghadapi Sea Games, jatah waktu pacaran mereka menjadi sangat berkurang. Kok mirip ya sama ceritanya saya ya. Hal ini tentu membuat Yudis merasa geregetan. Yudis mengaku sudah berusaha memberikan semua hal kepada Lala, tapi Lala… Lala seolah hanya menjadi pihak yang ingin selalu dimengerti.

Sebagai anak SMA yang baru saja pacaran, tentu Lala tidak ingin mengecewakan pacarnya. Hal ini menjadi salah satu poin kuat dalam keseluruhan cerita pada film ini. Bahwa jarang ada anak SMA yang tidak gegabah dan arogan dalam menentukan nasib hidupnya.

Walhasil, Lala akhirnya memilih keluar dari tim Sea Games yang dikomandoi ayahnya sendiri. Lala memilih bersama Yudis yang ia yakini bisa menghadirkan bahagia kepadanya. piye meneh, pacaran jhe. Bagi Lala, menjadi atlet loncat indah bukanlah sesuatu yang membahagiakannya. Loncat indah adalah hanyalah hal yang selalu mengingatkan pada mendiang ibunya. Dan menjadi berprestasi di bidang ini adalah kemauan si ayah.

Selepas meninggalkan loncat indah, Lala tak serta merta dekat dengan Yudis. Lala punya sahabat yang sejak SD selalu bersamanya. Kedekatan ini juga yang memicu kecemburuan Yudis yang selalu menuntut untuk diperhatikan. Yudis pun tak segan bertindak kasar seperti menjambak rambut Lala jika keinginannya untuk selalu berdua ini terpenuhi.

Dari sini lah kata posesif itu muncul.

Rasanya bukan Gina S. Noer jika hanya menghasilkan cerita yang biasa saja. Perempuan kelahiran Agustus,, 32 tahun lalu yang terkenal dengan cerita-cerita seperti Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan tentunya Habibie & Ainun ini mampu menyihir jalannya cerita di #FilmPosesif ini.

Tema keluarga kembali dia angkat untuk mengobrak-abrik perasaan penontonnya. Gina bersama Edwin menunjukkan bahwa perangai posesif dari Yudis ini adalah berkat dari keluarganya.

Yudis hanya tinggal berdua dengan ibunya yang digambarkan sebagai seorng pekerja keras. Ibu Yudis yang diperankan oleh Cut Mini juga adalah seorang yang posesif.
“Ibu itu yang mengandungmu, yang melahirkanmu, yang juga membiayai kebutuhan hidupmu. Jadi Ibu yang paling tahu apa yang membuatmu bahagia.” 

Begitu kurang lebih dialog yang diucapkannya.
I, personally, can relate about this thing. Keluarga yang mestinya menjadi tempat segala hal baik berasal kadang terasa meminta terlalu banyak. Bahwa wajar jika ada keluarga yang tak menginginkan anggotanya terluka. Wajar jika keluarga ingin setiap anggotanya bahagia. Namun, tak pernah menjadi hal yang baik saat keluarga merasa menjadi satu-satunya penentu keputusan. 

Mungkin ini juga sebabnya obrolan di grup WhatsApp keluarga acap kali terasa menyudutkan. Terasa sangat membebani.

Padahal, jika kita merujuk pada puisi Kahlil Gibran yang berjudul Anakmu Bukan Milikmu, belio jelas berujar bahwa setiap anak adalah milik zamannya. Tidak terikat pada kultur maupun tradisi keluarganya. Di titik ini, dalih cinta selalu digunakan pada kondisi yang salah. 

Begini maksudnya. Banyak orang yang merasa cinta terhadap sesuatu merasa berhak dan berkewajiban untuk mengatur semua hal yang ada pada diri orang yang ia cintai. Jarang ada orang yang mencintai orang lain dengan cara membebaskan dia untuk melakukan apa yang disukai. Bebas di sini tentu adalah bebas yang bertanggung jawab. Bukan bebas yang benar-benar lepas.

Perihal cinta, ada satu hal yang sering dilupa. Bahwa keinginan untuk melepaskan harusnya lebih besar dari memiliki. Dalam cerita ini, menarik bahwa ternyata malah Reno (Chicco Kurniawan) yang secara implisit menunjukkannya kepada Lala. 

Namun, tentu pesona Adipati Dolken terlalu memukau yang pada akhirnya tetap membuat Lala tertarik kepadanya.

Dan Lala, dengan egonya sebagai anak SMA yang super besar menolak nasihat dari sahabatnya untuk melupakan Yudis, walaupun Yudis sering bertindak kasar kepadanya. Mungkin karena cinta Lala yang terlalu besar, halah mbel. Lala, malah merasa menjadi satu-satunya orang yang sanggup menyelamatkan Yudis dari keposesifan orangtuanya sendiri. Mereka, dua anak SMA, memutuskan pergi untuk meninggalkan keluarga mereka.

Lala merasa bahwa dengan cinta di antara keduanya, mereka bisa pergi dan menantang dunia. Dan, tentu tanpa harus menonton kita juga tahu bahwa itu tak akan mungkin terjadi. Dengan cinta kita akan mengalahkan dunia, yang bener aja!

Ada satu hal yang Lala lupakan tentang diri Yudis. Bahwa Yudis tidak pernah ingin diselamatkan oleh Lala. Yudis tidak ingin ditolong. 

Hingga pada akhir film, Yudis memilih untuk meninggalkan Lala karena dia tahu ada hal yang tidak bisa ia paksakan. Yaitu bahwa dia harus berubah demi Lala. Bahwa, seburuk-buruknya keluarga memintanya melakukan apa yang tidak ia sukai, ke sana lah dia akan tetap kembali.

Setali tiga uang dengan Yudis, Lala pun pulang ke keluarganya. Kembali menekuni bidang yang sempat ia tinggalkan saat bersama Yudis dan melupakan semuanya.

Toh, ujung-ujungnya kita akan kembali lagi. Yang dulunya apa-apa dilakukan sendiri, akan balik dilakukan sendiri…


trailer film posesif




0 Responds