Let's Get Fat

10:04 AM

Aku terhenyak ketika sampai di lobby kantor dan menemukan sosok yang sepertinya aku kenal sedang duduk di teras, di anak tangga, berteman dengan angin yang lirih menyibakkan helai-helai rambutnya yang kemudian buru-buru diselipkan diantara jepitan telinga sebelah kiri. Sedetik kemudian aku sadar, bahwa dia adalah Bintang setelah melihat rambut ekor kuda yang terikat rapih dengan pita berwarna hijau tosca. Tas ransel warna biru cerah yang erat dalam pelukan, kaos hitam, dan cardigan dengan warna senada dengan langit malam yang lenggannya digulung hingga ujung siku. 

Bintang duduk dengan muka sedikit agak ditekuk, mungkin karena selama setengah jam lamanya dia di sana tanpa ada seorang pun di sampingnya. Atau mungkin juga sosok yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

“Lho… belum pulang, Bin?” tanyaku.

“Heh… mas. Iya belum dijemput ini.”

“Mau bareng aja? Kost ku sama rumahmu kan searah.”

Hujan mulai meniupkan aroma kedatangannya dan tanpa menunggu bagaimana sebuah respon dari Bintang, secara reflek aku menggamit tanggannya. Mengajaknya duduk diboncengan motorku yang baru saja aku cuci di pagi hari dan kehujanan di sorenya. Saat itulah, saat kali pertama Bintang terhenyak dalam sedel, aku merasakan waktu berhenti untuk beberapa saat. Aku tau ini terdengar terlalu berlebihan. Tapi kawan, percayalah, saat itu rasa itu benar-benar terjadi. 


Belum lama kami berjalan, hujan turun membabi buta. Tak membiarkan kami untuk terlalu lama dimabuk rasa bahagia. Hujan yang kurang ajar.

Basah kuyup membuat ku berani untuk menwarkan apakah Bintang mau untuk singgah sebentar di kost ku untuk sekadar mengganti bajunya karena kebetulan beberapa hari yang lalu kakak perempuanku mampir dan beberapa helai bajunya tertinggal. Bintang, seperti yang aku duga tak perlu waktu lama untuk mengatakan bahwa dia bersedia. 

Dan di sanalah aku, sedang mengaduk dua cangkir teh hangat di dapur sementara Bintang masih sibuk dengan urusan mengeringkan dirinya.

“Coba kita lihat apakah ada yang bisa dimakan?” Kataku seraya mencoba melepaskan diri dari gravitasi yang dihasilkan oleh beberapa bantal dan kursi yang empuk.

“Emang ada mas?” Jawabnya dengan mata berbinar dan melepaskan pelukan eratnya pada sebuah bantal berwarna biru muda. Seakan kalimat yang baru saja aku katakan itu adalah sebuah kata kunci untuk membuka sebuah peti harta karun. Sebuah kata yang mampu membakar semangatnya. Membuatnya kembali menyala-nyala.

“Aku nggak yakin sih…” lanjutku sembari membuka pintu kulkas. 

Ada pahit yang tersisa ketika menemukan isinya hanya ada beberapa sosis yang beberapa bungkusnya bahkan ada di antara mereka sudah terbuka dan isinya tak lebih sepertiganya. Di sebelahnya, hanya ada beberapa botol air putih, nyatanya membuat pahit yang dirasa semakin meradang. Di bagian freezer nya pun hanya berisi bongkahan air yang sudah membeku. Namun, kepahitan-kepahitan itu sedikit ditawarkan ketika aku melihat sebuah kotak putih berukuran tak lebih besar dari kotak handphone berlayar lima inchi. Aku tak membukanya, hanya mengambilnya lalu membawanya ke ruang tengah, tepat di mana Bintang kini sibuk mengeringkan rambutnya yang hitam sebahu panjang. 

“Adanya ini…” Kataku sembari menyerahkan kotak putih itu kepada Bintang


Dia menyipitkan matanya yang sudah sipit untuk membaca tulisan yang tertempel di stikernya. Hal itu membuat matanya yang seperti bulan sabit itupun terlihat makin mirip dengan garis lengkung. Aku tak yakin apa yang coba Bintang cari dari tulisan yang tak banyak itu, mungkin dia sedang mencoba mencari keterangan mengenai tanggal kadaluwarsanya, takut kalau seandainya aku memberinya makanan yang bisa membuatnya pingsan.

“Wah!!” Katanya tiba-tiba.

“Ada apa, Bin?” Tanyaku segera.

“Ternyata isinya risol.” Serunya bahagia. “Tapi perlu dihangatkan ini, biar makin enak... Mas Cah, aku boleh pakai kompornya?” 

Yups… mau dibantuin?” 

Risol yang kami makan itu ternyata mampu menghadirkan kepingan-kepingan bahagia yang tak pernah bisa kami namai bersama. Saat itu aku jadi ingat kata pepatah tentang bukan apa yang kita makan, tetapi bersama siapa kita makan. Dan walau hanya beberapa potong risol saja yang bisa menemani kami malam itu, sungguh rasanya lebih dari menu makanan terlezat yang mampu dihadirkan oleh hotel berbintang tujuh sekalipun. Karena aku punya Bintang di sampingku.

“Enak banget nih mas risolnya” katanya sembari menunjukkan bekas gigitannya. “Isinya Pepperoni Mayo. Mas Cah ambil lah satu.”

Sesuai instruksinya, aku mulai mengambil satu risolnya. Risol itu begitu terlihat begitu menggiurkan, begitu bisa menghadirkan jutaan gemerlap bintang di kala langit sedang dirundung petang. Warnanya yang keemasan, remahan tepung yang tersebar di semua bagiannya tanpa sela, dengan teksturnya yang crunchy membuat sebatang risol itu menjadi terasa begitu istimewa.


Aku mengambil satu risol yang berwarna sedikit lebih gelap ketimbang yang lain. Dugaanku, isi risol itu adalah coklat. Dan… Voila!! Digigitan pertama pada risol itu rasa renyah berpadu dengan rasa coklat membuatnya tak ingin segera berlalu ke kerongkongan. Tak pernah aku bayangkan bahwa risol, sebuah makanan yang biasa ditemukan dalam bingkisan kondangan yang biasa berisi beberapa cincangan daging, kadang juga sayuran, bisa begitu nikmat di dalam mulut. Rasa itu meruntuhkan dengan segera persepsi ku tentang risol. Aku mengunyahnya perlahan, menikmati setiap gilasan gigi geraham. Tanpa sadar membuat coklat isi risol itu pun merembes keluar dari bibir, jatuh menggantung di ujung sebelah kanan.


Bintang yang melihatnya dengan cekatan menyambar selembar tissue yang ada di samping kirinya. Dia mengusapnya, coklat yang menggantung di bibir ku. Secara reflek aku juga memegang tangannya yang masih terpaku di depan bibirku. Semesta seakan menjawab semuanya, lewat waktu yang berjalan tak terlalu tergesa. Membuat momen berharga itu selaksa sebuah gambar di dalam pigura. Terdiam. Kaku. Abadi. Selamanya. 

Bintang lalu menarik tangannya perlahan. Tersenyum simpul dalam tundukan kepalanya lalu memutar badannya dan memilih untuk menghabiskan beberapa jeda untuk menikmati beberapa batang risol yang tersisa. Aku larut dalam istana pikiranku sendiri. Mencoba dengan segenap kemampuanku untuk menganalisa semua fragmen-fragmen kejadian yang ada, menghubungkannya dengan letupan-letupan yang bergejolak dalam dada, untuk bisa menghasilkan sebuah nama. Nama yang akan aku gunakan sebagai kata ganti dari perasaan yang ada. 

“Emh… Mas. Coba lihat!” Katanyanya membuyarkan lamunanku segera. “Aku dapat rasa yang mix nih. Ada rasa kayak buble gum, strawberry, marsmellow, sama kornet.” Imbuhnya dengan mulut sesekali mengunyah pelan.

“Ini risol belinya dimana sih mas? Kok rasanya enak-enak gini?”

“Nih, aku belinya di sini tadi pagi” Jawabku sembari memberinya bungkus kotak kertas putih dan menggigit satu risol yang berisi keju.

Fat Snack, online risol shop. Premium homemade.” Katanya mengutip tulisan yang tertera di sticker berwana magenta itu. “Belinya COD-an ya mas berarti? Cuma untuk daerah Jogja aja? ”

Yups.

“Wah… ada pesannya di sticky note nya.” Katanya sambil memegang selembar kertas berwarna kuning dengan perekat di salah satu sisi lebarnya yang mulai tak lengket lagi. 

“Selamat hari senin Mas Cayok. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa bahagia.” "Cie!! Ciee!! Akhirnya selain mbak-mbak swalayan depan ada juga yang ngucapin selamat pagi buat Mas Cah!!" Lanjutnya bahagia. 

"Sepertinya tiap kita beli Fat Snack itu akan selalu dapat kata-kata yang selalu membuat kita untuk tidak mudah lupa bagaimana bahagia itu deh, Bin."

Lewat garis matanyanya yang lengkung itu aku tahu bahwa Bintang masih berusaha menelurusi setiap tulisan yang ada. Jarinya merapal dari satu huruf ke huruf yang lain, mulutnya komat-kamit. Hingga dia berhenti di satu titik. Dan kemudian menunjukkan tulisannya itu kepadaku, lalu tersenyum dengan penuh kepuasan.

“Mas… baca deh.” Katanya sembari menunjukkan sebuah tampilan gambar risol-risol yang berjajar di sebuah akun instagram. 

Aku melongokkan kepala ku mendekat. Sedekat mungkin dengan Bintang hingga aku dapat merasakan wangi aroma parfumnya. Menyipitkan mata, walau tak sesipit dia, mencoba menghalau terang yang terlalu menyilaukan. Di deretan kata-kata yang ada di sana, aku mencoba membaca beberapa varian rasa yang coba Fat Snack hadirkan. Ternyata selain Pepperoni Mayo, Coklat, Keju, dan Mix, Fat Snack hadir dengan banyak varian rasa lainnya seperti Coklat Keju, Oreo, Pepperoni Keju, Kornet Keju, dan Kornet Mayo, semua dihadirkan dengan balutan rasa berkelas istimewa dengan harga yang tak terlalu berdewa-dewa. 


“Dan ini kalimat favorit ku…” Kata Bintang menunjuk satu kata. 

Fat Snack, when you can get fat without any afraid. Baca kami bersama. 

7 Responds