Menemukan Jeda

8:00 PM



Sebagaimana hari-hari yang telah aku lalui bersama Bintang, Audrey, Adi, dan Ester yang selalu penuh dengan bermacam hal tak terduga, sore di tengah Agustus itu bisa jadi adalah salah satu  sore yang akan susah dilupakan. Seperti biasa, kami sedang berkumpul di sebuah ruangan yang memang dikhususkan untuk tim kami bekerja. Di sana, ada dua buah komputer yang tak pernah mengeluh walau harus dihajar tanpa henti, dua sofa pendek yang salah satunya adalah tempat di mana Audrey biasa berdiam diri, membaca ulang semua catatan-catatan tanpa tertinggal sesobek pun, sedangkan sofa lainnya selalu penuh dengan tumpukan kertas-kertas miliknya. Ada satu sofa panjang berhiaskan dua buah bantal di mana aku dan Bintang sering duduk bersama, bertukar ide tentang apa saja, di atasnya menggantung indah sebuah pendingin ruangan dengan hiasan pengharum ruangan yang menderu yang remote nya selalu menjadi bahan rebutan antara Adi yang suka ruangan yang dingin banget dan Ester yang tak terlalu suka ruangan yang dingin banget. 

Adi dan Ester, walaupun keduanya terkadang sangat berbeda dan bertentangan hampir dalam segala hal, mereka adalah pasangan yang sangat solid sejatinya. Semua hal yang berkaitan dengan data wawancara, foto narasumber, rekaman video, tertata rapih dalam folder-folder berwarna kuning di hard drive komputer yang kini mereka cumbui. Audrey, yang memang lebih senior dalam tim ini, sedang membaca beberapa tulisanku. Banyak kritikan darinya yang aku dapatkan, baik itu tentang kata-kata yang salah ketik sampai kritikan tentang keringnya tulisan yang aku buat karena hanya mengandalkan kutipan langsung dari narasumber. 

“Tulis lagi lah, Cah! Gali data lebih dalam lagi!” Katanya yang lalu disusul ketergesaannya berlari menuju ke toilet.


Sebagai anak baru dan satu-satunya yang masih menjabat sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi, kami sepakat untuk tidak memberinya berbagai macam beban kerjaan yang membuatnya semakin meradang. Dan walaupun demikian, dengan senyum yang mengembang, dia akan selalu bertanya tentang apa yang bisa ia bantu kerjakan. Dan Ester, sebagaimana Loki dalam wujud perempuan, dia akan selalu meminta bantuan yang membuat kami sedikit terheran. Seperti beberapa pekan berselang, ketika Bintang baru saja menyebutkan kata ajaibnya, Ester langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk memintanya mencarikan remote AC yang sedari pagi raib tanpa jejak. Bintang hampir mencarinya di pelbagi macam sudut ruangan. Di bawah bantal, bawah sofa, di samping komputer, di laci meja, di tumpukan kertas bekas, di sela-sela antar tempat file kertas, di belakang dispenser. Semua usahanya berakhir nihil. Dan dengan nada putus asanya, dia kembali menemui Ester dengan membawa jaketnya yang tebal sembari berharap dia bisa membantu Ester mengusir dingin yang kini mengubah kulit putihnya menjadi kemerahan. 

“Lu udah nyari remotenya kemana-mana?” Tegas Ester yang hanya dijawab dengan anggukan kepala. Matanya melirik ke arah toilet cowok, satu-satunya tempat yang belum Bintang jajaki, satu-satunya kemungkinan terakhir dari sepenggal misteri ini. Tatapan yang seolah berkata kepada Bintang untuk segera mencari ke sana dan membuat ruangan ini menjadi lebih hangat atau kalau nggak, kamu akan merasakan rasa sakit yang teramat sakit itu mau tak mau membuat Bintang bergerak dengan berjuta keengganan. Langkahnya semakin dekat dengan toilet sebelum Audrey menghentikannya dengan memberi tahu bahwa remotenya disembunyikan Adi di dalam tas ransel milik Adi. Adi pun hanya terkekeh. Dan kemudian meletuslah perang dunia di antara Ester dan Adi. 

Bintang? 

Dia hanya tertawa melihat tingkah konyol kami. 

Kenyataannya itu bukanlah satu-satunya keusilan yang pernah dilakukan Ester kepada Bintang. Suatu waktu, dia pernah meminta bantuan Bintang untuk menguncirkan rambut panjangnya menjadi seperti salah satu tokoh putri di film animasi Frozen. Ini semacam OSPEK yang akan mendekatkan kami, kata Ester. Kali lain, ketika suntuk meradang dan kami mencoba menghalangnya dengan bermain truth or dare. Ester pernah meminta Bintang untuk turun ke pantry dan meminta dibikinkan minuman paling memabukkan sebagai hukuman atas dare yang ia dapat yang walau pada kenyataannya satu-satunya minuman paling memabukkan yang ada di kantor kami adalah teh kemarin hari. Tapi Bintang bukannya tanpa pembalasan. Dalam tatapan meneduhkan itu, ternyata tersimpan berjuta ide gila.  Dia pernah meminta Ester membuatkannya segelas es teh dengan cara yang sama seorang bartender menyajikan segelas minuman. Alhasil, ketika Ester mencoba mengocok minuman yang sudah ia tempatkan dalam botol lalu melemparnya ke atas. Air di dalam botol pun tumpah karena tutup yang tak rapat, membasahi hampir sekujur tubuhnya. Kami semua tergelak melihat kejadian itu, terkecuali Bintang.

Bintang?

Dia yang sedikit merasa bersalah lalu berusaha membantu Ester menyeka air yang menetes dari ujung rambutnya. Menawarkannya baju ganti, walau sempat minta maaf karena sedikit bau keringat karena bekas dipakai kuliah. 

Begitulah Bintang. Rasanya dia selalu punya pijar sendiri yang mampu menghangatkan orang-orang yang berada di sekelilingnya dengan segala hal sederhana yang ada padanya. Tak terkecuali dengan tawa renyahnya. 

Itu adalah sore-sore yang selalu kami lalui bersama. Sebelum pijar dalam dirinya redup pada suatu ketika. 


Seperti sebelum, dan sebelumnya, langit ibukota kala itu sedang menunjukkan tanda-tanda tak bersahabatnya. Senja kala itu tak berwarna jingga. Senja kali itu diliputi mendung yang rasanya mematikan rasa. Membuat semua yang bernyawa menjadi kelu tak berdaya. Walaupun pada mestinya, musim hujan sudalah sirna.

Aku sedang duduk di sofa panjang seperti biasa, menatap nanar pada layar laptop tanpa mampu berkata. Di sampingku duduk Audrey. Perempuan berponi rata dengan kaca mata bundar tebal itu tengah sibuk membolak-balikkan kertas wawancara dengan seorang narasumber tentang perilaku seks remaja di ibukota. Dia memakai sweater warna merah tua dengan krah menutupi lehernya. Sekilas, aku melihatnya sebagai perpaduan antara Velma dalam film Scooby doo dengan sosok Edna, si tukang jahit kostum superhero yang muncul di film animasi The Incredible. Bahkan aku pernah membuat sebuah foto meme nya yang hanya berani aku tunjukan kepada Bintang yang tanpa bisa ku duga mampu meledakkan tawa dari perempuan yang selalu yakin bahwa dirinya adalah pendiam. Sedangkan, Adi dan Ester sedang menikmati keterbisuan mereka di depan layar komputer, bersama.  

Bintang yang di siangnya harus bertemu dengan dosen pembimbing skripsinya berkata kepada kami bahwa baru bisa ikut membantu di sore harinya.

“Pukul 3 sore.” Katanya melalui WhatsApp kepada kami semua.

Tapi agaknya jarum jam bergerak lebih cepat hari itu dan sudah hampir menjelang adzan maghrib yang bersahut-sahutan, tapi dia masih belum menampakkan dirinya. Semua orang mulai mencarinya, tak terkecuali aku yang dari kacamata Audrey mempunyai kecemasan yang lebih kepada Bintang.

“Dia hanya terlambat datang.” Katanya membaca kecemasanku lalu menepuk bahuku pelan.

Sedikit tentang Audrey. Aku mengenal Audrey ketika kami sama-sama berjuang di satu universitas swasta. Dia berada satu tingkat di atasku. Aku mengenalnya sebagai sosok yang tangguh, yang berjiwa besar, yang bertekad kuat, yang berhasrat tinggi, yang terbalut dalam tubuh yang tak lebih dari 160 senti.

Atas ambisinya yang meluap-luap, dia terpilih menjadi ketua dari sebuah unit kegiatan pencinta alam selama tiga tahun berturut-turut. Kali pertama aku bertemu adalah saat aku mendapat tugas untuk membuat sebuah bulletin mingguan kampus tentang sosok inspiratif, dan Audrey adalah sosok yang tepat saat itu karena dedikasinya yang menggaung kemana-mana. Dia adalah anomali bagi semua mahasiswa yang ingin lulus cepat tanpa pengalaman yang kuat. Baginya, adalah sebuah kesempatan yang sangat besar untuk menemukan jati diri sendiri, mengetahui apa yang sebenarnya dimaui ketika masih menyandang status mahasiswa. Menjadi mahasiswa adalah sebuah kejadian yang belum semua orang mampu temui, oleh karena itu kesempatan seperti ini harus dimaksimalkan, katanya dulu.  

Aku lulus tepat waktu dan dia lulus pada waktu yang tepat,  dan selama hampir dua tahun tak bertukar kabar, hingga akhirnya kami sama-sama mendaftar kerja di sebuah kantor berita yang sama. Awalnya aku tak pernah percaya adanya konstelasi alam semesta yang kembali mempertemukan kami berdua. Tapi, untuk kasus ini, aku membuat sebuah pengecualian.

Modal perkenalan ku dengan Audrey semasa kuliah nyatanya membawa dampak baik bagi kami berdua. Kami menjadi sepasang tim yang kompak bukan hanya soal pekerjaan tapi juga hampir semua lini kehidupan. Kepadanya juga aku tak ragu bercerita tentang perasaan yang aneh yang aku rasakan tiap kali aku bersama Bintang. Ada rasa senang, deg-degan, bahkan mengigil apabila sehari tak bertemu Bintang. Aku bertanya apakah itu cinta. Aku bertanya apakah perasaan itu salah, sedangkan Bintang pada waktu itu sedang berstatus dengan seseorang. Dia berkata, bahwa tak ada yang salah dari rasa suka, cinta, kepada seseorang, sambil menepuk pundakku.

“Pupuk rasa sukamu, rasa cintamu itu. Jangan biarkan ia layu.”

Itu adalah hal yang aku kenang dari sosok perempuan yang tinggal beberapa bulan lagi akan menghabiskan masa lajangnya itu, hingga Bintang datang dengan segala pijar yang mulai menghilang. Matanya sembab seperti habis menangis semalaman, suaranya parau, dan masih jelas bekas aliran air mata yang sedikit menghapus bedak di wajahnya. Kami semua terdiam, saling menunggu siapa yang pertama akan menyapanya. Detik rasanya enggan untuk bergerak, hingga aku mengajaknya duduk di sofa panjang bergantian dengan ku. Masih belum ada yang berani bertanya tentang apa yang sedang terjadi kepadanya. Kami hanya saling menatap lalu membuang muka lalu menatap lagi.

Aku berdiri untuk memberikan tempatku kepada Bintang yang tersedu-sedu. Aku bertanya kenapa dan dia hanya menggelengkan kepala. Bintang duduk di samping Audrey yang langsung menghentikan semua aktifitasnya. Memeluk Bintang dari samping sembari mengelus lengannya yang terbungkus kemeja putih yang tergulung sesiku. Sebuah sentuhan keibuan, aku menamainya. Walau aku tak begitu yakin dengan apa yang sedang dia lakukan kepada Bintang, tapi rasanya ada semacam energi positif yang sedang dia tularkan. Dan itu sedikit banyak mampu meringankan duka yang Bintang rasakan.

Bintang mulai menyeka air matanya yang masih saja tidak mau berhenti menetes itu. Lengan kemeja yang dilipat sesiku itu pun sudah terlihat basah dimana-mana. Tak akan ada cukup tissue yang mampu menghentikan tangis seorang perempuan, kata Adi sedikit menggumam. Setelah satu gelas air putih yang dibawakan Ester selesai ia tenggak, dia mulai kelihatan mulai mampu menguasai dirinya. Walau masih tetap membisu. Dan Audrey masih di sana untuk menungguinya bercerita tanpa lelah. Bintang benar-benar menunjukkan sosok bahwa dirinya adalah seorang yang pendiam dan pemalu, yang membuat Aku, Adi, dan Ester harus meninggalkannya bersama Audrey agar Bintang mau bercerita.

Lebih dari satu jam kami meninggalkan Bintang dan Audrey, meninggalkan tugas kami, sebelum pada akhirnya sebuah pesan masuk ke grup WhatsApp kami. Sebuah pesan dari Audrey yang berisi bahwa semua baik adanya dan kami bisa kembali mengerjakan tugas kami. Adi dan Ester kembali mencumbui komputer, bekejaran dengan waktu agar semua video hasil wawancara dengan seorang sastrawan ternama dapat segera dinikmati semua. Terutama Bintang yang pada waktu kami merekam acara itu terdiam, terpaku, kepada  bait-bait indah yang dibacakan sastrawan itu melalui sebuah puisi berjudul Surat Kopi1. Aku hanya berharap begitu video itu selesai, Bintang bisa menontonnya dan paling tidak menyeka semua pahit yang kini ia rasa, apapun itu.

Aku baru saja duduk dan bersiap menulis kembali sebelum Bintang yang baru keluar dari kamar mandi, menyeka semua bekas air matanya, datang dan menghampiriku.

“Mas Cah, bisa anterin aku pulang sekarang?”

Sedikit tergagap dan dengan rasa kikuk yang tak dapat ditafsirkan atas permintaan yang mendadak itu dan tentunya setelah mendapat anggukan sebagai tanda persetujuan dari Adi, Audrey, dan Ester, aku menghantarnya pulang setelah sebelumnya memberikan jaketku ku kepada Bintang untuk mengusir dingin Ibukota yang terlalu menyiksa jika harus dilalui dengan sepeda motor. Di jalan, tak seperti kali pertama aku memboncengnya ke kost ku beberapa pekan berselang, Bintang benar-benar diam. Mulutnya terbungkam dan mungkin sedang berdoa agar macetnya jalanan segera menjadi lancar sehingga ia bisa sampai di rumah segera. Sejam kemudian, setelah melewati beberapa kemacetan jalan, kami sampai di depan rumah Bintang di daerah selatan Jakarta.

Aku berhenti di depan pagar hijau tosca yang mulai pudar. Rumah lantai dua nya cukup besar dengan sebuah kolam ikan kecil di samping pintu depannya dengan sebuah replika Gua Maria di bagian tepi kolam. Bintang meminta ku untuk mampir. Orang tua nya sedang ke gereja jawabnya ketika aku bertanya kenapa rumahnya begitu sepi. Hanya ada seorang wanita lebih dari separuh baya yang kemudian Bintang sebut sebagai Mak Inah.

Aku duduk di sofa panjang berwarna cokelat gelap setelah sebelumnya menyingkirkan beberapa tumpukan Koran hari ini yang bahkan mungkin tak terbaca. Segera setelahnya, Bintang muncul setelah mengganti pakaiannya dengan model yang lebih santai, dan membawakan segelas es sirup jeruk untukku. Bintang sendiri duduk di sampingku sambil mendekap secangkir cokelat panas yang asapnya menari-nari di depan wajahnya yang lalu terhirup masuk lewat hidungnya yang masih menyisakan sesak karena tangis yang masih tak kunjung sirna. Aku bertanya tak lama setelahnya, apa yang membuat pijarnya redup seketika. Bintang menarik sebuah nafas panjang dan melepaskannya perlahan. Hingga pada beberapa detik setelahnya Bintang berkata bahwa dia baru saja mengakhiri hubungannya.

Bintang baru saja melihat sisi kelam dari cinta yang telah ia upayakan untuk selalu subur selama lima tahun belakang. Berusaha menjaga terang cahaya yang pada akhirnya redup dan mati juga. Bintang percaya bahwa segalanya telah usai, dan memperoleh pelajaran berharga bahwa cinta selalu memiliki sisinya yang paling menyakitkan2.  

“Lalu saat dia berkata, ‘kita sudah tak lagi bisa bersama-sama’, aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Aku masih mencoba mengerti apa artinya. Mencoba mengerti bahwa kami tak akan berada lagi di alur cerita yang sama, dengan senja yang sewarna.3” Katanya yang lalu disusul dengan isak yang kembali muncul.  Kesedihan mulai kembali menguasi dirinya, aku mencoba memeluknya seperti yang dilakukan Audrey, tapi nyatanya aku tak punya keberanian untuk itu. Bahkan aku tak berani menyeka hujan di sudut matanya. Aku hanya bisa memberikan beberapa helai tissue kepadanya. Duduk dan berharap agar bisa menjadi teman yang mampu mendengarkan.

Aku tahu aku tak mungkin bisa bohong dengan perasaanku sendiri kepada Bintang. Aku tak cukup paham harus bagaimana aku menunjukkan sikapku kepadanya. Apakah aku harus ikut berduka atau bersuka karenanya. Aku mencoba menyadari siapa dirinya sekarang, mencoba mengusir perasaan dengan mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku masih harus fokus untuk hari esok dan untuk tulisan-tulisan yang akan terbit. Namun, nyatanya pikiran tentang diri Bintang sekarang tak mau kunjung hilang. Tiba-tiba seperti ada lebah di tempurung kepalaku, dan capung beterbangan di dalam perutku. Aku habiskan es sirup jeruk dan tak berhasil menghilangkan semua binatang itu dari dalam tubuhku. Aku bahkan mulai merasa ada belukar yang tumbuh di dadaku, semrawut dengan duri menusuk di segala tempat4.

 “Bintang…” Kataku pelan. “Kapanpun ketika aku merasa sedih. Aku duduk dan menatap langit malam. Pada saat itu, aku selalu berpikir bahwa satu dari bintang-bintang di langit itu adalah milikku. Dan aku selalu tahu bahwa bintang itu akan selalu ada di sana untukku. Dan dengan suara yang lembut ia akan berkata, ‘Jangan pernah menyerah dengan hidupmu5.’

“Aku tahu bahwa kini ada yang telah melukai hatimu, perasaanmu. Tapi, percayalah bahwa itu semua memang harus kamu tempuh.” Kataku mencoba menenangkan dirinya.

Kepada Bintang aku juga berkata bahwa aku tak ingin melihat nya kehilangan pijar yang selalu bercahaya pada setiap kehadirannya. Aku tak ingin melihatnya menyerah begitu saja.

Malam semakin dalam dan rintik hujan pertama di tengah musim kemarau jatuh membasahi bumi. Aroma segar kemudian menyebar, menentramkan jiwa dengan aroma debu yang mengapung di sela-sela antara kami berdua. Lalu Bintang berdiri dan berjalan mendekati pintu rumahnya. Lirih aku bertanya kemana ia hendak beranjak, dengan sebuah senyum simpul yang dibuat-buat Bintang menjawab,

“Menemukan jeda, mas…”




1) Surat Kopi adalah salah satu puisi karya Joko Pinurbo. 
2) Ditulis ulang dari Buku Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan. Hal 188
3) Ditulis ulang dari blurb Buku Remember When karya Winna Efendi
4) Satu kalimat diambil dari Buku Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan
5) Kutipan dari film The Peanut Movie

6 Responds