Kedaluwarsa

11:45 AM


“Mencintai itu kalau hanya untuk menyenangkan diri sendiri,
bukanlah sebuah bentuk dari cinta yang sejati…” [1]

Aku terhenyak mendengar kalimat itu diucapkan oleh seorang Romo pada homilinya* itu. Seakan dalam bait-bait kata suci yang disampaikannya adalah semua yang tak bisa aku sampaikan. Atau paling tidak adalah yang tak sanggup aku lakukan. Seorang Romo yang usianya masih jauh dari setengah abad itu seakan punya kemampuan khusus dalam membaca pikiranku.

Itu hari Minggu pertama setelah entah berapa lama rasanya aku tidak pergi ke Gereja. Seperti biasanya, aku duduk di bagian paling belakang, duduk di dekat pintu, memandang altar yang tepat di depan sana dari samping aisle. Aku suka duduk di samping aisle, entah kenapa, rasanya ketika duduk di sana, aku seperti bisa menikmati segala hal yang ingin aku lihat tanpa harus mengganggu orang lain. Duduk di sana, aku merenung sejenak mencoba meresapi apa yang baru saja diucapkan Romo itu, dan pikiranku, entah sedang melayang ke mana.

Sudah lebih dari tiga bulan sejak kejadian di malam itu, malam di mana aku mengungkapkan semua isi hatiku kepada Bintang. Sejak saat itu, sejak Bintang melangkahkan kakinya pergi dan meninggalkan seberkas kehampaan di ujung sana, aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri.

Entah karena apa.

Beberapa hari setelahnya, aku bertemu Audrey dan menceritakan semuanya. Aku juga yakin bahwa Bintang pun juga melakukan hal yang sama, mengingat waktu itu Bintang menginap di rumah Audrey.

Aku telah melakukan apa yang Audrey sarankan. Pergi sejenak untuk kembali mengatur tujuanku dan memberi jarak untuk meresapi segala yang terjadi. Jarak romantika, sebutnya. Dan Bali adalah tujuanku. Tempat di mana aku menentukan hal apa yang akan aku lakukan kemudian.

Dua tahun semenjak kali pertama aku melihat Bintang, ada sesuatu yang langsung hilang bersama senyum pertamanya itu. Hampir dua tahun aku selalu berusaha berada di dekatnya, memupuk rasa yang entah dulu bernama apa. Lalu, rasa itu pun tumbuh subur seiring seringnya kami pergi bersama walau tak berdua, berbagi cerita yang coba kami jadikan ceria bersama.

Rasa yang selalu aku jaga karena aku tak pernah sanggup untuk kehilangannya. Rasa yang ada saat kami disatukan oleh cinta. [2]

Hingga apa yang terjadi di malam itu.

Untuk beberapa waktu, dengan alasan cuti, aku berada di Bali. Mencoba menikmati semilir angin Pantai Kuta, keriuhan jalan-jalan di sepanjang Denpasar, dan keheningan yang menenangkan di Pura Besakih. Itu semua aku lakukan hanya semata untuk mengisi sebuah lubang. Lubang yang sebelumnya penuh dengan bayang-bayang Bintang. Namun, rasanya percuma. Aku masih saja selalu merindukannya. Rasa cinta itu masih saja ada… rasa itu tak bisa sirna begitu saja...

“Rasa itu bisa ada, bisa tidak, tergantung pada sebuah cerita…” [3]

Kata-kata Romo itu kembali menarikku yang sedari tadi hanyut dalam pikiran. Seakan Romo itu juga mengalami apa yang aku alami, mungkin. Aku tersenyum pahit lalu memandang ke sekitar. Misa Minggu itu banyak dihadiri oleh para orang baik muda maupun tua, ada beberapa yang mengajak serta anak-anak yang akan menangis jika lepas dari genggam orangtuanya. Beberapa juga datang bersama pasangannya, dengan tangan saling menggenggam dan kepala saling bersandar jika ada kesempatan.

Itu Minggu yang cukup berawan di Bali. Kota yang tak pernah sepi itu kini bersiap menghadapi hujan yang bisa sewaktu-waktu datang dan pergi. Sepulang dari gereja itu, aku berjalan pelan menuju penginapan. Aku tak hendak mampir makan, karena entah kenapa, memikirkan Bintang saja sudah membuatku kenyang.

Lalu pikiranku kembali menerawang.

***

Aku kembali ke rutinitasku di Ibukota. Kembali menjabat erat tangan-tangan sahabat dan berkutat dengan segala hal yang sudah aku catat. Masih ada Audrey di sana, duduk di sofa bersama setumpuk catatannya, dan juga beberapa tulisan yang aku berikan kepadanya. Ester dan Adi, masih setia dengan saling berdebat soal remote AC. Bintang juga masih ada di sana, duduk di samping Audrey.

Aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya, tapi memang ada sesuatu yang berbeda dari diri Bintang saat itu. Intuisiku yang berkata demikian, walau selalu aku coba tepiskan, nyatanya itu benar. Bintang yang selalu terlihat paling lantang jika berbicara, paling keras jika tertawa, paling bahagia jika diajak bercerita, berubah menjadi begitu pendiam ketika aku berada di sekitarnya.

Rasanya ada sebuah kecanggungan yang menyelimuti udara di antara kami berdua. Entah berapa kali aku mencoba untuk membuka obrolan dengan Bintang. Tapi selalu hanya jawaban singkat yang aku dapatkan. Aku juga merasa begitu kami berada di tempat yang sama, ada rasa ketidaknyamanan yang Bintang tunjukkan, itulah yang menyebabkan aku lebih suka menghabiskan waktu berada di kubikelku.

Aku juga masih menerka-nerka bagaimana kami yang dulu berteman yang kemudian muncul rasa cinta mendadak berubah menjadi saling diam dan mendiamkan [4]. Adakah yang salah dari mencintai?

Audrey, satu-satunya di antara kami yang tahu mengenai ini semua. Maka, di penghujung hari ketika mentari sore mulai terlelap di balik gedung-gedung pencakar langit Jakarta, Audrey mengajakku ke sebuah café. Itu bertepatan saat Bintang pamit untuk pulang.

Café itu terletak di salah satu sudut Ibukota, dan bagiku itu adalah sebuah tempat penuh kenangan. Audrey sengaja mengajakku ke sana untuk menghabiskan waktu sembari menikmati secangkir Chamomile tea. Café itu merupakan tempat pertama di mana aku dan Bintang menghabiskan malam berdua saja ketika hujan menghadang. Ada begitu banyak cerita yang kami bagi saat itu, begitu banyak hingga jumlah tetesan hujan pun tak sanggup menyamainya. Namun kini, seiring semuanya telah berganti, rasa itu pun mendadak menjadi basi.

“Jadi, kenapa kamu membawaku ke sini”, tanyaku.

Don’t think of her too often, as your pal, I don’t want you getting sad”, katanya sembari mengangkat cangkir yang berisi Chamomile tea nya.

“Iya, aku berusaha untuk enggak terlalu larut mikirin dia. Tapi kamu pasti ngerasain kan bagaimana responnya dia belakangan ini? Aku hanya enggak ngerti kenapa”.

“Drey”, kataku. “Did you ever love anything that much?” aku menambahkan.  “Dan kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan itu?”.

“Iya… tentu. Dan Gue emang nggak terlalu paham sama kehilangan. But, you have to willing to let bygones be bygones”.

“Lagian Yok, you can’t change the people from who they are… atau mengganti keputusan yang telah diputuskan”, tambahnya.

So, what supposed I do?

Love them, apapun itu”. “Dan Lu nggak harus memelas karena cintamu nggak terbalas”. [5]



Malam itu untuk kedua kalinya aku ditinggalkan sendiri di sebuah café. Bedanya, kali ini Audrey meninggalkanku agar aku bisa punya waktuku sendiri untuk memikirkan semuanya. Terutama sekali untuk memberikan kesempatan agar bisa memaafkan diri sendiri. Untuk meresapi apapun yang disampaikannya malam itu.

Salahkah, drey, kalo aku jadi suka sama Bintang. Ingatanku melayang kepada kalimat yang pernah aku ucapkan ke Audrey pada suatu senja itu. Kalimat yang menjadi awal bagaimana aku selalu ingin berada di orbit Bintang. Kalimat yang membuat aku sadar bahwa mencintai untuk diri sendiri bukanlah cinta yang sejati.

Tidak ada yang salah dengan menyukai orang lain, yang salah adalah ketika lu tahu lu suka sama orang tapi nggak berusaha untuk mewujudkannya. Dan kalo Lu udah berani mencintai, artinya Lu juga harus mencintai dengan berani. Cintai hidupmu dengan menjadi berani [6]. Itu jawaban yang diberikan Audrey waktu itu. Aku menganggapnya sebagai sebuah dukungan positif yang bisa sahabat bagikan.

***

Bintang Artwork by: Yholanda

As you live some things just kind of stick to you. Aku sadar bahwa tak akan mudah menghapus segala ingatan tentang Bintang. Ingatan ketika kami bercerita banyak hal berdua, bersama. Tentang hari di mana kami sibuk mencari tahu tentang narasumber yang ingin kami temui. Tentang hari di mana Bintang berkata soal impian dan harapan yang ingin ia wujudkan. Tentang sebuah pagi di mana Bintang menunduk khusyuk sembari menggenggam rosario yang menggantung di lehernya.

Aku bahkan masih ingat rasa dingin ketika pada suatu malam aku mengantarkannya pulang dari kantor dan menembus hujan di Jakarta. Memberikannya Jaket kesayanganku untuk mengusir dinginnya Jakarta malam itu. Aku juga masih ingat bagaimana desir-desir yang menjalar di dadaku saat kali pertama Bintang mengusap bekas cokelat dari risol yang menetes dari ujung bibirku. Kami juga pernah berbagi duka bersama saat Bintang memutuskan mengakhiri salah satu bab terpenting dalam ceritanya. 

Semua perasaan itu… Oh, andai saja aku benar-benar bisa tahu bagaimana cara mengatakannya. Namun, ketika semua harus mendadak berhenti dan berganti. Rasa-rasa itu pun terbang kemanapun ia ingin pergi. Tidak ada lagi sebuah frasa yang mampu menggantikannya. Tidak ada lagi bait-bait puisi yang mengisi hari-hari.

Ketika semua rasa perlahan mulai terganti. Cinta enggan tumbuh kembali. Walau sekuat apapun aku mencoba memaafkan diri sendiri, tetap saja kehilangan selalu mempunyai bekas tersendiri. Dan ketika semua rasa yang dulu pernah ada dan tercipta perlahan mulai memudar dan sirna. Masihkah aku boleh bertanya, “Benarkah cinta punya tanggal kedaluwarsa?”


[1], [2], [3] merupakan kata yang dikutip dari Romo In Nugroho
 saat pembekalan Tim Publikasi Asian Youth Day 2017
[4] diambil bebas dari twitter Gigih Adiguna
[6] Dikutip dari buku berjudul 2 karya Donny Dhirgantoro

*homili adalah khotbah singkat yang disampaikan pada waktu misa.


0 Responds